Senin, 29 Januari 2018

Prediksi PSIS Vs Persela: Tidak Ada yang Mustahil

Bola.com, Malang - Persela Lamongan bakal berjuang lolos ke perempat final Piala Presiden 2018, sekalipun peluang Laskar Jaka Tingkir agak berat mengingat mereka hanya menuai dua kali hasil imbang.
Peluang Persela menipis setelah gagal mengalahkan Bhayangkara FC di laga kedua, Kamis (25/1/2018). Sebelumnya pada laga perdana mereka juga bermain imbang 2-2.
Pada pertandingan terakhir penyisihan Grup E, anak-asuh Aji Santoso bakal menjajal kekuatan PSIS di Stadion Kanjuruhan, Malang, Selasa (30/1/2018). Lawan yang dihadapi sudah pasti terkubur dari persaingan.
Persela berharap bisa membuat keajaiban untuk bisa lolos ke fase selanjutnya. Mengabaikan hasil akhir pertandingan Bhayangkara FC Vs Arema FC, Aji fokus memotivasi para pemainnya agar bisa tampil all-out saat meladeni Tim Mahesa Jenar.
"Terus terang saya peluang kami meraih tiket babak 8 besar Piala Presiden 2018 amat tipis. Kami harus menggantungkan nasib pada pertandingan lain. Namun, dalam sepak bola tidak ada yang tidak mungkin. Penting bagi kami fokus pada diri sendiri, yakni memenangi laga melawan PSIS Semarang," ucap Aji Santoso.
Mantan pelatih Arema FC itu menegaskan bahwa ia berulangkali memotivasi para pemainnya. Ia tidak ingin penggawa Laskar Jaka Tingkir, mengangkat bendera putih tanda menyerah sebelum melakoni pertandingan terakhir.
"Meskipun dua laga terakhir kami bermain skor imbang, tetapi sebenarnya pencapaian itu luar biasa. Kami sukses menahan laju juara bertahan Piala Presiden, Arema FC, dan jawara Liga 1 2017, Bhayangkara FC. Jadi para pemain harus percaya diri," ujar Aji.
Mantan nakhoda Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2015 itu menyebut Persela punya persoalan di lini belakang. Poros belakang masih sering panik menghadapi tekanan bertubi-tubi kubu lawan.
"Akan tetapi saya senang para pemain muda kami sudah menunjukkan perkembangan yang bagus. Mereka kini sudah semakin percaya diri meskipun harus berhadapan dengan tim besar dengan pemain yang lebih berpengelaman," ungkap Aji.

Selasa, 02 Januari 2018

SEJARAH JOKO TINGKIR


 Abad ke-empat belas adalah masa peradaban Hindu di Indonesia. Dimana kerajaan Majapahit berkuasa dengan masa keemasannya dibawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Madanya yang terkenal dengan sumpahnya, " Tidak akan makan buah Palapa sampai seluruh Indonesia bersatu," Pada akhir abad keempat belas kerajaan Hindu mulai runtuh sejak Kesultanan Demak yang beragama Islam di Utara Jawa, musuhnya, mulai bangkit dibawah Rajanya Sultan Bintoro atau Raden Patah.

Pada tahun 1527 Sultan Bintoro menyerang kerajaan Majapahit Hindu yang terakhir di Kediri.

Keluarga kerajaan melarikan diri dari Istana, diantaranya adalah Kebo Kenanga, putera dari Raja Andayaningrat, raja terakhir Majapahit.

Kebo Kenanga beserta keluarganya dan juga perajurit pengikutnya melarikan diri dan menetap di hutan Pengging disebelah timur gunung Merapi sebagai pengungsi. Mereka bekerja keras membersihkan hutan dan mendirikan pemukiman baru bagi keluarga dan pengikutnya.

Kebo Kenanga menukar agamanya menjadi Islam dan namanya menjadi Ki Ageng Pengging. Ki dimuka namanya menandakan bahwa dia adalah guru agama. Kemudian dia berteman dengan guru-guru agama Islam yang lain diantaranya adalah Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang.

Akan tetapi kakaknya, Kebo Kanigara menolak untuk memeluk agama Islam, dia pergi masuk hutan dan menjadi pertapa.

Setelah dua tahun berdiam di Pengging, Ki Ageng Pengging mendapatkan seorang anak yang diberi nama Karebet. Dia lahir sewaktu ayahnya sedang menikmati pertunjukan wayang beber atau wayang karebet, maka itu lah namanya Karebet.
Ki Ageng Pengging menjadi guru agama yang terkenal dan desanya menjadi makmur karena kepemimpinannya.
Sementara itu Raja Demak, Sultan Bintoro tidak senang dengan kemakmuran Pengging.
" Pengging adalah daerah kekuasaanku, mengapa pimpinan Pengging tidak pernah datang kepadaku dan membayar pajak," Sultan berkata kepada gurunya Sunan Kudus.
" Jadi apa menurut pemikiran anda?" kata Sunan Kudus.
" Saya ingin anda pergi ke Pengging dan katakan kepada Ki Pengging agar datang menghadap saya sekarang juga," kata Sultan.
Sunan Kudus bersama tujuh orang perajurit Demak bersenjata lengkap pergi ke Pengging guna menemui Ki Ageng Pengging.
Dia bertemu dan berhadapan muka dengan Ki Ageng Pengging dirumahnya.
Setelah bercakap-cakap mengenai masalah-masalah yang ringan sifatnya sampailah kepada hal yang prinsip.
" Jadi mengapa saudara tidak pernah datang ke Istana dan menghadap baginda secara langsung?," kata Sunan Kudus
" Saya mohon maaf belum dapat datang sekarang disebabkan banyak hal di Pengging yang harus diselesaikan; tolong sampaikan permintaan maaf saya kepada Baginda," kata Ki Ageng Pengging.
" Saya datang kesini atas perintah Raja guna meminta kepada anda datang ke Istana guna menghadap Raja sekarang juga,ini adalah perintah,apakah kamu mengerti?" kata Sunan Kudus.
Situasi menjadi semakin kritis. Sunan Kudus memegang hulu kerisnya, demikian juga Ki Ageng Pengging; nampaknya keduanya siap untuk berkelahi. Beberapa waktu kemudian mereka saling menusukan kerisnya. Sunan Kudus lebih banyak menyerang dibanding Ki Ageng Tingkir.
Setelah beberapa lama tampak Sunan Kudus berhasil mengatasi lawannya dan memberikan satu tusukan pada lengan atas Ki Pengging. Disebabkan keris Sunan Kudus mengandung racun warangan, maka Ki Ageng Pengging mati seketika.

Ketujuh perajurit pengawalnya dengan gerak cepat membentuk pengawalan kepada Sunan Kudus. Kemudian mereka mundur perlahan-lahan dengan keris ditangannya masing-masing.

Ki Pengging tidak mempunyai pengawal yang profesional, yang ada adalah rakyatnta sebagai petani dan pemukim baru. Mereka melihat pemimpinnya mati ditusuk dan mereka siap membela guna menyerang pengacau dari Demak.

Tanpa diperintahkan, mereka segera menyerang para pengacau dari Demak. Tapi karena perajurit Demak memang profesional dalam berkelahi, maka mereka kalah. Kemudan para pengacau Demak ini pulang kembali ke Demak.

Rakyat di Pengging sangat bersedih dengan kematian pemimpinnya. Empat puluh hari kemudian, isteri Ki Ageng Pengging pun meninggal dunia disebabkan kesedihan yang mendalam.

Mas Karebet tinggal sendirian sebagai yatim piatu. Teman-teman ayahnya sangat bersimpati dengan anak yatim yang malang ini diantaranya Ki Ageng Tingkir; dia memutuskan mengangkat anak.

Disebabkan Karebet tinggal dirumah besar Ki Ageng Tingkir, maka Mas Karebet lebih dikenal dengan nama Jaka Tingkir. Rumah Ki Ageng Tingkir letaknya dilain desa; rumah ini besar karena Ki Ageng Tingkir terkenal kaya raya. Tak berapa lama kemudian, Ki Ageng Tingkir pun meninggal dunia, jadilah Nyonya Ki Ageng Tingkir janda.
Sewaktu umur Jaka Tingkir genap dua puluh tahun, Nyonya Tingkir mengrimnya ke Ki Ageng Sela untuk menjadi muridnya. Pada waktu itu tidak ada sekolah formal, yang ada hanyalah guru yang mengajarkan Silat, seni bela diri tradisional, Agama Islam, dan ilmu spiritualisme dan mistik. Ki Ageng Sela adalah guru yang terkenal sakti.

Rumor mengatakan bahwa dia pernah menangkap kilat dari langit yang akan menghantam mesjid Agung Demak. Oleh sebab itu Masyarakat percaya bahwa dia menpunyai kekuatan Super natural.

Ki Ageng Sela juga mempunyai keturunan Ningrat Majapahit karena dia adalah anak dari Kidang Talengkas atau Jaka Tarub yang kimpoi dengan Dewi.

Jaka Tingkir menghadap Ki Ageng Sela.
" Engkau dapat belajar dari saya tentang ilmu apapun, selamat datang, tetapi dengan satu syarat, apakah kamu setuju?" kata Ki Ageng Sela.
Ki Ageng Sela mempunyai kekuatan supernatural oleh karenanya dia dapat membaca keadaan masa depan demikian pula dengan masa depan dari Jaka Tingkir.
" Saya titipkan anak dan cucu saya kepadamu; bawalah dia didalam kesenangan maupun kesusahan, jangan tinggalkan mereka." kata Ki Ageng Sela.
" Saya akan melaksanakan pesan Guru semampu saya," kata Jaka Tingkir.
" Saya percaya kepadamu. Jika saya tidak salah melihat, maka kamu diramalkan nantinya akan mendapat karunia dari Tuhan berupa kedudukan yang baik dimasyarakat. Oleh sebab itu kamu harus selalu dekat dengan Tuhan dan menjalankan perintahNya.

Jaka Tingkir adalah murid yang cerdas dan rajin; semua ilmu dipelajari dengan baik, maka Guru menjadi senang sehingga Jaka diangkat menjadi anaknya.

Pada suatu malam Ki Ageng Sela bermimpi membabat hutan untuk membuat ladang; sewaktu dia datang ke hutan dia melihat Jaka Tingkir sudah ada disitu bahkan sudah menebang beberapa pohon disitu; kemudian dia terbangun.

Dia berpikir tentang mimpinya, apakah arti mimpi ini. Kata orang mimpi membersihkan hutan berarti akan menjadi raja; kalau begitu Jaka Tingkir akan menjadi raja suatu waktu.

Ki Ageng Sela sebagai keturunan ningrat Majapahit selalu ber-doa memohon kepada Tuhan YME, agar keturunannya kelak dapat menjadi raja suatu saat nanti; dia berdoa agar harapannya dapat terkabul.
" Jaka pernahkah engkau bermimpi yang menurut kamu mimpi itu aneh?, tanya Ki Ageng Sela.
" Pernah guru, saya bermimpi bulan jatuh dipangkuan saya, itu terjadi sewaktu saya bertapa di gunung Talamaya. Dan sewaktu saya bangun, saya mendengar suara dentuman yang berasal dari puncak gunung itu." kata Jaka Tingkir.
" Anakku,itu adalah mimpi yang bagus sekali. Untuk membuka tabir mimpi itu maka sebaiknya kamu pergi ke Demak dan menjadi abdi disana guna merebut posisi yang baik dilingkungan Istana, saya akan berdoa untuk kesuksesan kamu" kata Ki Ageng Sela.

Setelah Ki Ageng Sela memberi wejangan dia melepas keberangkatannya menuju Demak.
Sebelum pergi ke Demak, Jaka Tingkir mampir dulu menemui ibu angkatnya sekedar mengucapkan salam.
Ibu angkatnya terkejut melihat anaknya pulang terlalu awal. " Apakah engkau sudah menyelesaikan tugas belajarmu?, tentu engkau adalah murid terpandai," kata Nyonya Tingkir.
" Tidak ibu, tetapi saya mendapat tugas untuk pergi keDemak guna mengabdi ke Istana." kata Jaka Tingkir.
" Demak?, nampak ketidak senangan Nyonya Tingkir dengan Demak, karena dia teringat akan kematian ayah anaknya yang dibunuh oleh Sultan Bintoro.
" Demak akan mengalami kemajuan dan saya akan mendapat suatu posisi yang bagus dikalangan Istana, demikian ramalan Ki Ageng Sela , guruku," kata Jaka.
" Barangkali dia benar karena dia mempunyai kekuatan supernatural; baiklah saya mendukung rencana ini, dan saya minta kamu untuk tinggal di saudaraku didesa Ganjur, pamanmu disana sebagai lurah Ganjur. Tinggalah disini untuk dua hari karena saya masih kangen dengan kamu," kata Nyonya Tingkir.

Selama tinggal dirumah, Jaka bekerja di sawah bertanam padi. Selagi dia bertanam, ada orang menegur, " Hai Jaka mengapa kamu masih ada disini?, bukankah kamu harus ke Demak secepatnya?" Dia adalah Sunan Kali Jaga, salah satu dari sembilan orang suci yang pertama membawa agama Islam. Sebagai orang alim dia tau akan masa depan Jaka, maka dia menganjurkan agar Jaka segera ke Demak.
Kerajaan Demak dengan raja pertamanya adalah Sultan Bintoro atau Raden Patah. Beliau wafat pada tahun 1518.

Sultan mempunyai anak-anak seperti dibawah ini.
Yang pertama adalah Ratu Mas, beliau menikah dengan Pangeran Cirebon. Walaupun dia anak tertua, tapi dia tidak berhak untuk menjadi Raja, karena perempuan.

Putera yang kedua adalah Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor. Dia diangkat menjadi Raja menggantikan ayahnya. Pada waktu usianya tujuh belas tahun dia ikut bertempur di selat Malaka memerangi orang Portugis, bantu membantu dengan Sultan dari Malaka, Sultan Machmudsyah. Oleh sebab itu dia bergelar Pangeran Sabrang Lor yang artinya pergi keluar negeri. Setelah memerintah Kerajaan selama tiga tahun dia dibunuh oleh seseorang. Rumor di masyarakat mengatakan bahwa yang membunuh adalah adiknya yang terkecil, Pangeran Trenggono.

Anak ke tiga adalah Pangeran Kanduruan atau Pangeran Seda Lepen. Dia seharusnya berhak menduduki tahta kerajaan, tapi sayang dia dibunuh oleh keponakannya sendiri, Pangeran Prawoto, anak tertua dari Pangeran Trenggono.

Jadi Kerajaan Demak berlumuran darah yang dilakukan oleh Sultan Trenggono beserta keluarganya.
Jaka Tingkir akan menghadap Sultan Demak yang pada saat itu adalah Sultan Trenggono. Yang pertama dia kunjungi adalah Lurah Ganjur guna mendapat rumah penginepan. Dia serahkan surat dari ibu angkatnya kepada Ki Lurah.
" Hai Jaka, kamu sekarang sudah besar. Saya teringat pada waktu saya berkunjung terakhir kerumahmu, engkau masih kecil, umyur kamu lima tahun." kata Lurah Ganjur.
" dia seorang pemuda ganteng, sopan dan kuat; jadi saya kira dia akan mudah untuk menjadi abdi dalem Istana," pikir Ki Lurah.
" Hai Jaka besok adalah hari Jumat. Sultan akan sembahyang di Mesjid Agung Demak. Jadi besok pagi-pagi kita bersama-sama akan membersihkan mesjid. Diharapkan Sultan akan melihat kamu dan mengangkat kamu sebagai pengawalnya atau abdi dalem." kata Ki Lurah.
" Terimakasih, ini adalah kesempatan saya untuk melihat Sultan yang terkenal itu dari jarak dekat dan juga untuk pertama kalinya," kata Jaka Tingkir.
Pagi-pagi sekali Ki Lurah beserta stafnya dan juga Jaka sudah berangkat ke Mesjid untuk bekerja membersihkan Mesjid dan halamannya.

Disebabkan Jaka terlalu tekun dengan pekerjaannya, dia tidak melihat atau menyadari kalau Sultan dan rombongannya sudah dekat akan memalui tempatnya. Jika dia pergi begitu saja maka dia akan membelakangi Sultan. Tetapi jika dia diam ditempat itu, tentu dia akan dilanggar oleh Sultan beserta rombongannya. Tempat dia sedang bekerja adalah diantara dua kolam yang tempatnya sempit, tempat lalu Sultan. Tiba-tiba dia melompat melewati kolam. Itu adalah salah satu pelajaran silat yang diajarkan oleh Ki Ageng Sela.

Sultan dan rombongan sangat terkejut begitu juga Ki Lurah Ganjur. Sultan mendekati Lurah Ganjur dan memberi tanda agar anak muda tadi untuk datang menemuinya sesudah sembahyang Jumat.
Ki Lurah Ganjur pucat mukanya," hukuman apa yang akan dijatuhkan Sultan kepada Jaka Tingkir?"
" Tingkir tindakanmu tadi adalah melanggar kesopanan. Sultan berkenan menemuimu nanti setelah sembahyang Jumat, saya harapkan Sultan tidak akan memberimu hukuman," kata Ki Lurah Ganjur.
" Saya minta maaf paman; saya tidak menyadari kalau Sultan dan rombongan tiba-tiba sudah ada dimuka saya," kata Jaka Tingkir.
" Apa yang harus saya katakan kepada ibumu, Nyonya Tingkir, jika Sultan memberikan hukuman," kata pamannya.
" Akankah dia memberi hukuman?, saya hanya melompati kolam, kemudian dihukum karena tindakan itu?," kata Jaka
" Dengan berbuat seperti itu kamu telah pamer kepandaian silatmu. Kamu tahu bahwa Demak ini adalah gudangnya master Silat," kata pamannya.
Tidak berapa lama kemudian Sultan beserta rombongan sudah keluar dari mesjid dan menemui Jaka tingkir, " siapakah namamu anak muda?, kata Sultan.
" nama saya Jaka Tingkir,'
" Siapakah orang tuamu?, tanya Sultan
" Orang tua saya bernama Ki Ageng Tingkir, masih ada hubungan keluarga dengan Ki Lurah Ganjur, bahkan saya juga bermalam di rumah Ki Lurah." jawabnya.
" Hmm,...kamu tidak pernah cerita bahwa kamu mempunyai seorang keponakan Ganjur. Anak muda besok kamu menghadap saya di Istana," kata Sultan.

Pendek cerita, Jaka Tingkir diterima sebagai "abdi dalem" pegawai Istana.
Dua tahun kemudian dia diangkat sebagai Tumenggung di kalangan militer Kerajaan Demak, karena dia pandai, cerdas berilmu dan tahu membawa etiket Kerajaan.

Dia mengadakan reorganisasi kalangan militer di Kerajaan dan melatih ketrampilan perajurit Demak yang menjadikan militer Demak cukup disegani. Sultan sangat senang dan puas kepada hasil kerja Jaka Tingkir, sehingga dia mengangkat anak kepada Jaka Tingkir.

Disebabkan Jaka Tingkir adalah pemuda yang ganteng, maka banyak wanita-wanita mengharapkan menjadi kekasihnya.

Pada suatu hari, selagi Jaka bertugas di Istana, dia melihat seorang wanita cantik tanpa sengaja. Dia adalah Puteri Mas Cempa yang tinggal di kaputren. Tidak seorangpun boleh masuk kedalam kaputren tanpa seizin baginda. Puteri pun melihat dia, maka keduanya saling jatuh cinta.
" Mana mungkin Baginda mengambil mau saya sebagai menantu, karena saya hanyalah pemuda desa. Tapi melihat matanya, nampaknya dia jatuh hati juga sama seperti saya. Bagaimana cara saya mengutarakan rasa cinta saya kepadanya, kalau saya tidak diperkenankan masuk kedalam Kaputren?, itu adalah permasalahan Jaka." pikir Jaka Tingkir.

Dia hampir melupakannya, tetapi pada suatu hari seseorang mengantar surat rahasia dari dia, Puteri. Dia mengundang datang ke Kaputren, dia juga menyertakan peta jalan rahasia untuk sampai ke Kaputren sehingga tidak ada seorangpun mengetahui kehadirannya di Kaputren. Sejak itu terjadilah beberapa pertemuan rahasia diantara kedua pasang muda mudi yang sedang dimabuk asmara. Sejauh ini lancar-lancar saja, karena tidak ada yang tau pertemuan tersebut. Hanya teman-temannya mencurigai dia sedang dilanda asmara karena sering kedapatan melamun.

Pada akhirnya pengawal kerajaan melihat dari kejauhan, Jaka Tingkir bersama Puteri Mas Cempa berada di Kaputren. Kemudian melaporkan ke Baginda dan Baginda segera memanggil Jaka menghadapnya.
" Mengapa engkau berani melanggar aturan memasuki Kaputren? tanya Sultan
Belum pernah Jaka melihat Sultan kelihatan semarah hari ini karena dia memang belum pernah berbuat kesalahan.Nafasnya menjadi sesak dan mukanya pucat Dia tidak pernah berkata bohong, maka juga saat ini.
" Tuanku, saya dengan Puteri Mas Cempa sedang merundingkan sesuatu," katanya
" Apa itu?," tanya Sultan.
" Kami berdua saling jatuh cinta," kata Jaka.
" Beraninya kamu, kamu harus tau dan menyadari, kamu hanyalah pemuda rakyat biasa dari kampung, kamu hanyalah petugas layan Istana kami. Mulai sekarang kamu dipecat dan dihukum. Kamu masuk hutan tanpa membawa senjata dan saya akan perintahkan semua perajurit Demak untuk menangkap kamu hidup atau mati. Saya akan umumkan bahwa kamu telah mencuri pusaka keramat Kerajaan, baju antakusumah, sekarang pergi, saya tidak mau melihat kamu lagi," kata Sultan.

Sangat buruk dan bahkan lebih buruk disebabkan mencuri baju antakusumah berarti bukan saja perajurit Demak akan mengejarnya bahkan semua rakyat Demak akan ikut mengejar.
" Maafkan saya Tuan, saya akan melaksanakan perintah Tuan. Bila saya gagal dan mati, maafkan saya dan Ratu Mas Cempa, kami berdua saling mencintai," kata Jaka.
Kemudian dia pergi masik hutan. Sepanjang itu tidak ada seorang perajuritpun yang mengikutinya guna membunuhnya.

Sultan dibalik itu merasa sangat tertekan dan penuh penyesalan karena dia sebenarnya membutuhkan dia sebagai perajurit yang baik, organisatoris yang handal dan seorang pemuda yang ganteng. Jaka adalah pemuda sempurna tanpa cacat yang dapat ditemukan. Bahkan dia adalah sempurna sebagai memantunya. Sultan tidak mengetahui bahwa dia sebenarnya adalah berdarah biru dari kerajaan Majapahit, musuhnya.
Jaka meninggalkan Demak dengan cepat. Tanpa tujuan, hanya kesedihan yang mendalam dan frustrasi kehilangan kekasihnya Ratu Mas Cempa. Sewaktu dia beristirahat dibawah pohon disuatu hutan, seseorang datang menghampiri, " Hai anak muda mengapa kamu berada di hutan yang angker ini?, " tanya orang tua.
" Saya Jaka Tingkir dari desa Tingkir. Saya adalah anak dari Ki Ageng Pengging. Orang tua saya sudah mennggal dunia sewaktu saya masih muda, kemudian saya diangkat anak oleh Ki Ageng Tingkir jadi nama saya adalah Jaka Tingkir.

Matanya menjadi basah karena menangis. " Oh anakku ayahmu adalah temanku, nama saya adalah Ki Ageng Butuh. Jadi apa yang terjadi dengan kamu sehingga kamu berada dihutan ini?" tanaya Ki Ageng Butuh.
Dan jaka menceritakan apa yang terjadi.
" Jadi apa rencana kamu selanjutnya?"
" Saya tidak tau, mungkin saya akan bunuh diri," kata Jaka.
" Jangan lakukan itu anakku, Itu tidak baik, saya tau pikiran kamu sedang kacau karena kamu sedang mendapat kesulitan dan kesedihan yang mendalam. Alangkah baiknya jika kamu datang kerumahku dan semua nya akan menjadi dingin dan tenang." kata Ki Ageng Butuh.
Jaka Tingkir setuju atas saran itu dan menginap selama seminggu atau lebih dirumahnya. Ada juga disana tetangganya, Ki Ageng Ngerang yang juga teman ayahnya. Kedua orang itu mengajarkan Jaka ilmu Mystic dan ilmu spiritualism yang membuat Jaka menjadi orang baik, sopan dan bijaksana.
Sesudah satu bulan, Jaka Tingkir ingin kembali ke Demak. Mengharapkan Sultan sudah dapat melupakan dosanya dan dapat menerimanya seperti sebelumnya. Sesudah mengucapkan terimakasih dan salam kepada kedua gurunya, dia meninggalkan desa Butuh pergi ke Demak.

Dia sampai ke pintu gerbang kerajaan dan menemui pengawal disana yang masih mengenalinya sebagai tutor pendidikan kemiliteran. Mereka bercakap dan berdiskusi mengenai situasi Istana. Tetapi Sultan masih marah kepada Jaka, kata pengawal itu.

Jaka sangat kecewa dengan keterangan itu, dia meninggalkan Demak dan menuju Pengging, kota kelahirannya.
Dia meninggalkan Pengging sewaktu dia berumur dua tahun, maka tampak agak aneh kota itu. Dia bertanya kepada seseorang di jalan, dimana kuburan ayahnya. Dia pergi kekuburan ayahnya guna memberikan bunga. Dia tertidur dikuburan karena dia terlalu lelah berjalan. Dia bermimpi seseorang datang kepadanya dan berkata, " anakku Karebet, jangan bersedih jangan biarkan hidupmu menjadi sia-sia. Jadi kamu harus pergi ke desa Banyu Biru dan temui Ki Buyut Banyu Biru, jadilah muridnya dan patuhi semua perintahnya. Aku adalah ayahmu, Ki Ageng Pengging.

Dia terbangun dan merasa aneh karena mimpi itu seperti sungguhan terjadi.
Siapakah Ki Buyut Banyu Biru?. Dia sebenarnya adalah Kebo Kanigara, kakak dari ayahnya.

Ki Banyu Biru paman Jaka Tingkir adalah guru yang terkenal, banyak anak-anak muda datang berkunjung untuk menjadi muridnya,diantaranya adalah Mas Manca dari desa Calpitu di kaki Gunung Merapi. Ayahnya adalah tantama dari militer Majapahit bernama Jabaleka. Murid yang lain adalah Ki Wuragil dan Ki Wila adalah keponakan dari Ki Banyu Biru sendiri.

Ki Banyu Biru mempunyai kesaktian untuk mendapat inspirasi bahwa dia akan menerima seorang murid yang akan menjadi Raja terkenal ditanah Jawa. Pada sore harinya datanglah Jaka Tingkir yang melamar menjadi muridnya. Ki Banyu Biru menerima dengan senang hati. Jaka Tingkir belajar dengan rajin dan dia juga dapat berteman dengan murid-murid yang lain. Dalam tempo tiga bulan dia sudah dapat menguasai semua ilmu dan lulus dalam ujian.
" Jaka tiga bulan sudah cukup untuk kamu belajar ilmu dari saya, nah sekarang kamu kembali ke Demak dan menghadap Sultan kembali," kata Ki Banyu Biru.
" Tetapi saya takut, karena Sultan akan menolak saya," kata Jaka.
" Jangan takut dan jangan ragu-ragu anakku; Sultan akan mengadakan kunjungan ke gunung Prawata pada musim ini seperti biasanya dan kamu dapat menemui dia disana; ini saya bekali kamu segenggam tanah," kata Ki Banyu Biru.
" Segenggam tanah? untuk apa?,"
" Pada perjalanan kamu nanti, kamu akan menemui kerbau Danu di kaki gunung Prawata; jejali dia dengan tanah ini, kerbau itu akan mabuk dan mengamuk; ikuti dia kemana larinya; dia akan menuju ke alun-alun dimuka villa Raja; kemudian Raja akan meminta kamu untuk menangkap binatang itu," kata Ki Banyu Biru.
" Menakjubkan planing Ki Banyu Biru, tetapi mungkin ini merupakan ramalan bukan rencananya," pikir Jaka.
" Saya harap rencana ini akan terealisasi nantinya," kata Jaka.
" Jaka kamu akan ditemani oleh Ki Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila. Jadilah tim yang kompak dalam menghadapi semua hal," kata Ki Banyu Biru.

Kempat anak muda itu memulai perjalanannya menuju gunung Prawata. Pada perjalanannya mereka memerlukan tempat bermalam. Lurah disuatu desa menawarkan rumahnya untuk menginap. Lurah itu bernama Bahureksa. Mereka menerima tawarannya.

Adalah seorang gadis cantik dan menarik dan juga pandai bergaul tinggal dirumah itu. Dia adalah anak gadisnya Ki Lurah sendiri, namanya Kaninten. Jaka tertarik dengannya dan Kanintenpun merespon, maka jadilah cinta kilat. Karena mereka hanya tinggal dua hari saja, maka Jaka dan kawan-kawannya minta pamit kepada Ki Lurah untuk meneruskan perjalanannya.
" Ki Lurah, kami berterimakasih atas layanan, selanjutnya kami minta diri untuk meneruskan perjalanan kami," kata Jaka.
" Sebelum engkau pergi, saya ada berita dari anak saya yang mengatakan bahwa kamu telah mempermalukan anak saya. Maka saya minta kepada kamu, Jaka Tingkir, untuk mengawini anak saya," kata Ki Lurah.
" Saya tidak melakukan apa-apa; saya minta maaf jika dalam pergaulan saya telah menykiti anda semua,"
" Saya memaksa atau saya akan bunuh kamu semua," kata Ki Lurah.
" Saya sudah mempunyai kekasih yang akan saya kimpoii segera, dia adalah Ratu Mas Cempa, puteri kerajaan Demak; saya tidak bisa mengawini Kaninten," kata Jaka

Bahureksa memegang hulu kerisnya dan menusuk dengan gerakan cepat. Jaka menghindar dan kemudian membalas dengan pukulan yang tepat kemukanya. Walaupun tanpa senjata, Jaka dapat mengatasi serangan Bahureksa karena dia adalah muridnya Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Banyu Biru. Dalam beberapa menit, Jaka memberikan pukulan terakhir, jadilah dia pemenang didalam pertarungan ini. Tetapi pasukan Jagabaya atau semacam pasukan privat telah mengepung keempat anak muda itu.
" Hai anak muda engkau telah mempermalukan anak gadis kami yang terbaik, maka engakau tidak dapat keluar dari desa kami ini; engkau harus mati atau kami yang mati," kata pemimpin Jagabaya.
" Tenang ki Sanak, saya tidak melakukan sesuatu atau menyakiti Kaninten, bahkan dia sekarang baik-baik saja; saya tidak melakukan sesuatu, sumpah, saya minta maaf," kata Jaka.
" Baiklah, atas nama Bahureksa saya akan merundingkan kepada kamu; saya menawarkan, untuk kompensasi malu Kaninten saya minta kamu membayar seribu Kepeng," kata kepala Jagabaya.
" Baiklah saya terima tawaranmu," kemudian Jaka membayar.

Mereka mendapatkan pengalaman berharga di desa Bahureksa ini tentang wanita. Jaka Tingkir harus mengendalikan keinginannya kepada wanita dimasa akan datang. Wanita itu dapat merubah nasib seorang laki-laki dan dapat merubah karir seorang laki-laki.

Mereka meneruskan perjalanannya ke gunung Prawata guna menemui Sultan. Setelah sampai dikaki gunung mereka melihat seekor kerbau sedang merumput, ini tentulah kerbau Danu yang dikatakan oleh Ki Banyu Biru. Dan tentunya padang rumput ini sudah dekat dengan Vila Raja. Jaka Tingkir mengambil segenggam tanah dari kantung nya dan mendekati kerbau tadi, " kalem, sedikit kerbau," kemudian dijejalkan tanah itu kedalam mulutnya. Beberapa menit kemudian, Kerbau itu menggoyang-goyangkan kepalanya, matanya mulai merah dan kakinya mulai digaruk-garukan ketanah. Berhasil kerja tanah tadi.

Kerbau Danu benar-benar mabuk, dia lari dengan cepat kearah pasar. Dia lari dengan cepat menabrak apa-apa yang didepannya. Orang-orang dipasar gempar dan lari menyelamatkan diri sambil berteriak-teriak. Tidak seorangpun yang dapat emnangkap atau menenangkan kerbau itu, bahkan perajurit-perajurit Demak, sehingga salah seorang perajurit menghadap Sultan langsung dan melapor," Tuan, ada seekor kerbau yang mengamuk menghancurkan apa saja di pasar, tak seorangpun yang sanggup melawannya,"
" Seekor binatang mengamuk dan tak seorangpun berusaha. Baiklah, saya perintahkan kepada kamu untuk memobilisasi perajurit guna menangkapnya, giring dia kearah alun-alun dan buatkan sebuah panggung untuk saya guna mengamati alun-alun," kata Sultan.
" Baik Tuanku"
Kerbau Danu adalah kerbau besar yang garang, memasuki alun-alun. Ada beberapa serdadu yang mencoba menangkapnya tetapi gagal bahkan beberapa perajurit terluka dan yang lain menjadi takut. Beberapa pekerja sibuk membuat panggung untuk raja mengamati. Hari itu adalah hari ketiga sejak Danu mabuk dicekoki tanah kedalam mulutnya.

Sultan dan pengikutnya duduk di panggung. Dia menarik kesimpulan bahwa semua serdadunya telah gagal. Sementara itu orang-orang dari kampung dan kampung sekitarnya telah datang kepinggir alun-alun menonton kerbau yang mabuk. Diantaranya adalah Jaka Tingkir dan teman-temannya. Tiba-tiba Sultan melihat Jaka diantara rakyat tanpa sengaja. Sultan memberikan tanda kepada bawahannya dan berkata," adakah kamu melihat anak muda yang berada disana. Dia pasti Jaka Tingkir. Katakan kepadanya untuk menangkap kerbau. Jika dia berhasil, saya akan memberikan pengampunan atas dosa-dosanya." Pengawal mendekati Jaka Tingkir, " Hai Jaka, Sultan meminta kamu untuk menangkap kerbau itu, jika kamu berhasil Sultan akan memberikan pengampunan atas dosa-dosa kamu."

"Bnarkah, saya akan mencoba, terimakasih banyak," kata Jaka. Dia melompati pagar alun-alun dan mendekati panggung dan tunduk menghormat menghadap Sultan. " Ini adalah kesempatan saya untuk mempraktekan ilmu silat saya dari Ki Ageng Banyu Biru dan Ki Ageng Sela. Dan juga kesempatan saya untuk kembali kepada karir saya dan tidak ketinggalan untuk bersatu kembali dengan Ratu Mas Cempa," pikir Jaka.
" Tuanku, saya akan mencoba semua kemampuan saya, doakan saya," kata Jaka.

Dia berbalik menghadapi binatang itu. Kerbau itu lari kearahnya dengan kepala ditundukkan. Jaka menghindar dan Jaka kembali dari belakang kerbau guna menangkap ekornya. Dia berhasil menangkap ekornya dan menarik sekuat tenaganya sampai kerbau itu pingsan. Dia memukul kepapala kerbau itu dengan tinjunya sampai kepala kerbau itu pecah. Kerbau mati dalam sekejap.
Para penonton berteriak gembira ria, " Hidup Jaka, Hidup Jaka,'

Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila bersorak-sorak gembira, kemudian mereka melompati pagar dan mendekati Jaka. Ki Manca menggendong Jaka dipunggungnya dan berkeliling lapangan diikuti oleh teman-temannya. Sampai dimuka panggung mereka berhenti dan memberi hormat kepada baginda." Sangat baik Jaka,kamu hebat, engkau menghadap saya satu hari setelah besok," kata Sultan dan tampak dia tersenyum yang menandakan bahwa dia tidak marah lagi.
" Kanjeng Sinuwun, saya Jaka Tingkir bersama teman-teman saya menghadap baginda, saya akan datang ke istanamu sesuai perintah mu," kata Jaka.

Hari dimana dia harus menghadap Sultan adalah hari yang terindah didalam hidupnya, hari karunia dari Tuhan YME. Dia duduk dilantai dengan kaki bersila layaknya seorang rakyat Jawa menghadap Rajanya. Kemudian baginda bersabda, " Jaka mulai sekarang kamu menduduki pos mu sebagai Tantama didalam kemiliteran Demak," Tamtama adalah salah satu kedudukan yang cukup tinggi didalan ranking militer Demak.

Kabar dari masyarakat Demak yang dia dengar, tidak seorangpun mau mengikuti Jaka guna membunuhnya pada waktu Jaka diusir dari Jabatannya dan dihukum. Bukan saja mereka takut tetapi juga mereka menghormati Jaka. Setiap perajurit Demak mengakui bahwa Jaka adalah pemimpin yang karismatik. Rumor yang tersebar dimasyarakat bahwa Jaka pernah membunuh salah seorang perajurit yang ingin menangkapnya sewaktu dijatuhi hukuman, dengan melempar daun sirih saja.

Setelah enam bulan berjalan, Sultan menaikan pangkatnya menjadi Tumenggung yang setara denga Jenderal dalam kemiliteran modern. Jaka bersyukur kepada Tuhan YME atas karuniaNya yang diberikan dan bekerja lebih keras lagi guna memperbaiki militer Demak. Sultan masih berambisi untuk memperluas Kerajaannya kearah Supit Urang, Mataram dan Pasuruan, oleh sebab itulah militer Demak harus lebih baik dari sebelumnya.

Pada akhirnya Sultan memutuskan mengangkat Jaka Tingkir sebagai menantunya. Alangkah senangnya dia dan juga teman-temannya tidak dapat dikatakan. Jadi tidak ada lagi pertemuan rahasia dan tidak ada lagi pengawal yang melaporkan kepada Raja apabila Jaka bertemu dengan Ratu Mas Cempa di Kaputren. Semua berjalan normal dan legal sekarang.

Sultan mengadakan pesta pernikahan anaknya yang terakhir, antara Jaka Tingkir dengan Ratu Mas Cempa. Semua rakyat mendukung dan merestui pernikahan pasangan yang serasi ini. Setelah pesta pernikahan, Sultan menganugrahi kepangkatan kepada Jaka sebagai Bupati di Pajang, jadilah dia Adipati Pajang. Pajang nama sebelumnya adalah Pengging.

Pada waktu itu Demak memulai ekspansinya menyerang Supit Urang dan Mataram. Keduanya dapat ditundukan dengan mudah. Kemudian menyusul Pasuruan. Sultan sendiri memimpin penyerangan disertai dengan puteranya yang kedua, Pangeran Timur dan tentu saja dengan Jaka Tingkir. Pada penyerangan ke Pasuruan, Sultan gugur dibunuh oleh dayangnya sendiri di tendanya. Dayang itu adalah suruhan Pangeran Aryo Penangsang, putera dari Pangeran Kanduruan. Dulu Pangeran Kanduruan dibunuh oleh keponakannya sendiri Pangeran Prawoto, putera dari Sultan Trenggono.

Pasukan Demak ditarik mundur dari peperangan bersama dengan mayat Rajanya. Kemudian di Demak dilakukan penobatan raja baru yaitu Pangeran Prawoto dengan gelar Sultan Mukmin, menggantikan ayahandanya, Sultan Trenggono. Sunan Giri sangat mendukung penobatan tersebut. Sunan Giri adalah salah satu dari sembilan orang suci. Jadi dia mempunyai pengaruh politik didalam kesultanan Demak. Sultan Prawoto juga dilantik sebagai pemimpin agama, maka dia juga disebut sebagai Sunan Prawata.

Jaka Tingkir dan keluarganya tinggal di Pajang sebagai Adipati Pajang. Mereka bekerja keras membangun daerahnya. Rakyat sebetulnya lebih setuju memilih Jaka sebagai raja mereka, jika ada pemilihan bebas seperti di era moderen, oleh sebab itu banyak rakyat yang pindah ke Pajang untuk menjadi rakyatnya Adipati Pajang. Semua temannya dan rakyatnya mendukung dia menjadi raja, maka Jaka mengangkat dirinya sebagai Raja denga gelar Sultan Hadiwijoyo. Ibukota kerajaan adalah Pajang, maka kerajaannya pun bernama Kerajaan Pajang.

Kerajaan Demak semetara itu mengalami kemunduran sejak Sultan Prawoto sakit. Rakyat disitu pun tidak protes dengan berita Jaka Tingkir mengangkat dirinya menjadi Raja; mereka berpendapat bahwa wahyu keprabon memang jatuh kepada Jaka Tingkir yang berarti memang Tuhan YME menghendaki dia sebagai Raja.

Sultan Hadiwijoyo tidak melupakan janjinya kepada Ki Ageng Sela, maka dia memanggil keluarga gurunya untuk didudukan sebagai pembantu-pembantunya di kerajaan; Sultan memanggil Ki Ageng Ngenis, putera Ki Ageng Sela. Ki Ageng Ngenis membawa puteranya, Ki Ageng Pemanahan.

Kita dapat membuat catatan kecil mengenai pembantu-pembantu Sultan Hadiwijoyo seperti dibawah ini :
Mas Manca diangkay sebagai patih Pajang dan bergelar Patih Mancanegara. Dia menjadi tangan kanan Sultan Hadiwijoyo dan banyak berjasa dalam perkembangan Pajang.
Ki Wuragil dan Ki wila diangkat sebagai Bupati dalam, banyak berjasa dalam pengembangan wilayah seperti membuka lahan pemukiman dan perladangan.
Ki Ageng Banyu Biru diangkat sebagai penasehat kerajaan atau Pepunden.
Sultan juga tidak melupakan Ki Ageng Sela, seperti sudah diterangkan diatas.
Ki Ageng Ngenis, putera Ki Ageng Sela diberikan desa perdikan yang disebut desa Nglaweyan.
Selain Ki Ageng Pemanahan,sebagai putera tertua, Ki Ageng Ngenis juga mengangakat anak yang namanya Panjawi. Kedua puteranya ini adalah murid dari Sunan Kali Jaga. Oleh Sultan Hadiwijoyo keduanya ditugaskan sebagai kepala pasukan tamtama Pajang dan juga Keduanya diangakat saudara oleh Sultan.
Ki Ageng Pemanahan mempunyai putera seorang bernama Raden Bagus Danang. Kemudian hari puteranya ini diangkat anak oleh Sultan Hadiwijoyo sebagai "lanjaran' karena Sultan tidak mempunyai anak. Pangeran ini dikenal dengan nama Ngabehi Lor Ingpasar.
Ki Ageng Pemanahan juga membawa kakak iparnya bernama Ki Jurumartani didalam pemerintahan Sultan Hadiwijoyo.
Sementara itu Aryo Penangsang, Adipati Jipang Panolan tidak merasa puas dan marah besar, " Beraninya si Jaka Tingkir mengangakat dirinya sebagai Raja, lalu dengan demikian saya berada dibawah kekuasaannya dan saya harus melapor, tidak sudi. Seharusnya saya adalah Raja Demak, karena saya adalah putera Pangeran Kanduruan dan bukan si Prawoto".

Adipati Jipang sangat frustrasi karena skenarionya gagal. Misinya membunuh Sultan Trenggono berhasil dengan sukses, seharusnya diikuti dengan penobatan dia sebagai Raja Demak pada langkah berikutnya. Mengapa tidak ada orang mendukung dia sebagai Raja, bahkan kakeknya yang diharapkan tidak juga mendukungnya. Oleh sebab itulah dia bermaksud pergi ke Kudus hendak mencurahkan ketidak puasannya dan nasibnya kepada kakeknya, Sunan Kudus. Mengapa dia gagal menjadi Raja.

Sebagaimana diketahui Sunan Kudus adalah pembunuh ayah Karebet. Tetapi didalam cerita ini dikatakan bahwa Sunan Kudus juga sebagai salah satu gurunya Karebet. Jadi Sultan Hadiwijoyo menghormati Sunan Kudus, sekalipun dia adalah pembunuh ayahnya.

Sebaliknya Sunan Kudus adalah kakeknya Aryo Penangsang. Oleh sebab itulah Sunan Kudus selalu membela cucunya. Bukan hanya cucunya tetapi juga Sunan Kudus adalah gurunya.
Adipati Jipang Panolan beserta seluruh stafnya datang ke Kudus, menghadap Sunan Kudus. Dia datang dengan marah dan muka yang masam, tidak tersenyum dan tidak hormat kepada semua yang orang yang ditemuinya di Kasuhunan.
" Penangsang, bukan caranya begitu, menghadap saya dengan muka marah dan masam seperti kamu itu," kata Sunan Kudus dengan marah.
" Saya minta maaf, Eyang benar, saya lagi muak, mengapa Prawoto yang menjadi Raja, seharusnya saya. Percuma saya melenyapkan Paman Trenggono," kata Aryo Penangsang.
" Hai jangan ngomong sembarangan, ngawur seperti itu. Apakah kamu datang hanya ingin mencurahkan kemarahanmu?, kata Sunan Kudus dengan lebih marah.
Aryo Penangsang demikian sombong sehingga dia merasa biasa saja sewaktu mengatakan bahwa dia yang melenyapkan Sultan Trenggono. Hal ini yang membuat Sunan Kudus marah besar.
" Maaf Eyang Guru,bukan maksud saya mau marah-marah dimuka guru, tetapi saya memang sedang frustrasi," kata Aryo Penangsang.
" Baiklah saya dapat mengerti apa yang sedang kamu hadapi, tetapi hadapilah masalah ini dengan kalem dan mudah," kata Sunan Kudus.
" Semua orang yang mengetahui sejarah Demak, tentu akan setuju bila saya sebenarnya adalah Raja yang syah,karena saya adalah putera Pangeran Kanduruan, tetapi mengapa semua orang tidak mendukung saya, bahkan Eyang sendiri tidak mendukung, " kata Aryo Penangsang Dia sudah mengatakan maaf tidak akan marah, tetapi kali ini marah lagi bahkan marah langsung kepada Eyangnya.
Dia meneruskan," Saya juga sakit hati dengan tindakan si Karebet yang tidak diduga langsung menjadi Raja, beraninya dia, apa pangkatnya dia dan dia tidak menghargai saya tidak memandang martabat saya. Saya tidak setuju Jipang Panolan dibawah kekuasaan Pajang.
" Baiklah, apakah kamu sudah puas mencurahkan semua masalahmu? Jangan dikira aku kakekmu diam berpangku tangan, tidak, bahkan saya berpikir bagaimana memecahkan masalah ini,"
" Apa pendapatmu, bila seseorang sebagai muridku berchianat kepada almamaternya dan pergi berguru kepada orang lain?" kata Sunan Kudus.
" Siapakah dia yang dimaksud guru?,"
" Dia adalah Pangeran Prawoto. dia lari dan berguru kepada Sunan Kali Jaga," kata Sunan Kudus.
" Jadi apa yang akan kita lakukan guru?"
" Engkau adalah muridku, apakah engkau mau bermaksud membersihkan sekolahmu dari penghianat seperti Pangeran Prawoto?" kata Sunan Kudus.
" Akan kita bunuhkah dia Guru?,"
"Saya tidak mengatakan itu," kata Sunan
" Guru katakanlah denganjelas dan tegas," kata Aryo Penangsang.
" Penangsang jangan memaksa saya, berbicara harus dengan sopan kepada gurumu," kata Sunan Kudus.
" Maaf, tetapi saya akan menunggu perintahmu," kata Aryo Penangsang.
" Tidak, saya tidak akan mengeluarkan perintah. Kamu datang ke Kudus dengan kemarahanmu untuk membunuh Sultan Prawoto dan Jaka Tingkir, itu semua adalah masalahmu, dan bukan masalah saya," kata Sunan Kudus.
" Apakah engkau merestui Eyang?, " kata Aryo Penangsang.
" Tidak, saya ingin mengatakan bahwa saya tidak pernah memberi kamu perintah untuk membunuh Sultan Prawoto dan Jaka Tingkir, tetapi saya juga tidak pernah mencegahmu. Tetapi harus diingat bahwa Sultan Prawoto bukan saja seorang Raja tetapi juga seorang pemimpin Agama. Jadi apa bila terjadi sesuatu yang tidak baik dengannya, negeri ini akan geger," kata Sunan Kudus.
" Saya tidak perduli. Saya siap apapun yang akan terjadi bahkan saya siap untuk menyatakan perang dengan Kerajaan Demak," kata Aryo Penangsang.
Aryo Penangsang dan Patih Matuhun kembali ke Jipang Panolan.
Pada Istananya, Aryo Penangsang memanggil pengawalnya yang terbaik, namanya Rangkud untuk diberi tugas.
" Rangkud kamu mempunyai tugas dari saya. Saya tau bahwa tugas ini berat bagimu, bunuh raja Demak."
" Jangan katakan tidak, setiap perajurit Jipang Panolan adalah pembrani dan tidak takut mati untuk Negaranya dan Rajanya, kamu mengerti?," kata Aryo Penangsang.
" Tetapi,...."
" Tidak ada tetapi, kerjakan perintah ssaya,"
" Raja Demak mempunyai kesaktian yang mana keris saya tidak akan mempan menembus tubuhnya," kata Rangkud.
" Jangan takut akan hal itu, ambil keris kamu dan bawalah kepada Sunan Kudus, Sunan akan membacakan mentera dikeris kamu, maka besi tua itu akan bertuah."



                                 By:M.Amam Al-faizi

SEJARAH WALI SONGO




Walisongo” berarti sembilan orang wali”
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid

Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

baca juga : Profil Mentari Komputer BuayanService Komputer Panggilan

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
http://juragansejarah.blogspot.com/2013/05/sejarah-wali-songo-lengkap-cerita-wali.html
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.





Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.


Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.

1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
http://juragansejarah.blogspot.com/2013/05/sejarah-wali-songo-lengkap-cerita-wali.html
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n

2. Sunan Ampel
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
http://juragansejarah.blogspot.com/2013/05/sejarah-wali-songo-lengkap-cerita-wali.html
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”

info menarik : Antivirus Sederhana dari NotepadCara Aktivasi Windows 7 secara Permanen

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

3. Sunan Giri
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

4. Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah

yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.


Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.

Info lebih lainnya :

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. 

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
            


                      By:M.Amam Al-faizi